Selasa, 04 Agustus 2009

PADA bulan Ramadan kemarin pola hidup konsumerisme sebenarnya telah terlihat dalam kehidupan kita. Seyogyanya, pada bulan Ramadan itu kita dapat berhemat tetapi kenyataannya kita lebih konsumtif.

Prilaku konsumtif mencapai puncaknya pada saat menjelang Hari Raya Idul Fitri kemarin. Orang akan berlomba-lomba untuk memenuhi keinginan mereka sehingga pusat-pusat perbelanjaan pun dipenuhi banyak orang. Industri modern telah menciptakan pusat-pusat perbelanjaan yang dapat menarik perhatian orang terus berbelanja sebanyak-banyaknya. Masa pelaksanaan ritual Puasa dan perayaan Idul Fitri dijadikan sebagai musim menghasilkan uang.

Pelaku industri sangat memahami bahwa orang Indonesia cenderung bersifat konsumtif pada masa Puasa dan Idul Fitri. Sistem ekonomi kapitalis telah mendorong manusia untuk selalu terlibat dalam aktivitas konsumsi secara besar-besaran. Orang dijebak berbelanja tidak lagi untuk memenuhi keperluan hidup tetapi untuk memenuhi keinginan atau nafsu.

Konsumerisme merupakan pola hidup manusia yang tidak hemat dan mengganggap barang/materi sebagai ukuran kebahagiaan. Kuatnya arus konsumerisme telah memberikan dampak negatif terhadap pelaksanaan Puasa dan Idul Fitri. Akibatnya, pelaksanaan puasa dan idul fitri yang berazaskan spiritual cenderung bersifat material sehingga mendistorsi hakikat Puasa itu sendiri.

Puasa vs Konsumerisme
Puasa bertujuan melatih manusia dalam mengelola nafsunya sebab nafsu itu mempunyai kekuatan luar biasa. Nafsu itu tidak untuk dihilangkan tetapi ia dikelola secara cerdas. Hakikat yang terkandung dalam puasa bertentangan dengan konsumerisme. Puasa melatih orang untuk mengendalikan nafsu sedangkan konsumerisme berupaya untuk membangkitkan nafsu orang agar terus berbelanja secara berlebihan guna memuaskan hasrat diri manusia. Penyedian barang-barang untuk pemenuhan hasrat manusia menjadi sektor unggulan dalam dunia industri masa kini.

Meskipun puasa bertentangan dengan konsumerisme, tingkat konsumsi masyarakat terhadap barang semakin meningkat pada bulan Puasa. Kita bersifat ambigu dalam memahami Puasa. Pada satu sisi kita berjuang untuk menahan nafsu dengan cara berpuasa sedangkan pada sisi lain kita melepaskan nafsu itu dengan berprilaku konsumtif. Hubungan Puasa dan konsumerisme bertolak belakang. Puasa bersifat spiritual sedangkan konsumerisme bersifat material.

Indikator keberhasilan dalam berpuasa adalah peningkatan ketakwaan kepada Tuhan sedangkan indikator konsumerisme adalah pemenuhan nafsu atau kesenangan dengan penggunaan materi. Meskipun hakikat Puasa dan konsumerisme sangat berbeda, kita pada hari ini telah menjalankan kedua-duanya sekaligus sehingga ini menyebabkan terjadinya distorsi terhadap pesan mulia yang terkandung dalam Puasa. Kita berpuasa sambil memupuk pola hidup konsumerisme yang sebenarnya meracuni nilai-nilai spiritual yang terdapat dalam diri.

Puasa atau Memuaskan Diri
Berkembangnya prilaku konsumerisme dalam bulan Puasa atau menjelang Hari Raya Idul Fitri menunjukkan bahwa kita sebenarnya tidak secara serius memuaskan nafsu kita. Yang kita lakukan sebenarnya adalah memuaskan nafsu. Kita memang menahan nafsu sebentar tetapi setelah itu kita lepaskan dengan sepuas-puasnya dengan perbuatan konsumtif.

Dalam konteks spritualitas, konsumerisme membutakan hati manusia untuk melihat kebesaran dan kekuatan Tuhan yang bersifat spiritual sebab konsumerisme itu cenderung mengagungkan materi. Dalam konteks kemanusiaan, konsumerisme akan menghasilkan masyarakat yang mendewakan uang dan mengabaikan hubungan kemanusiaan. Uang akan dianggap segala-galanya sehingga manusia pun kehilangan kemanusiaannya.

Memaknai Kemenangan
Agama mengajarkan bahwa setelah berpuasa selama satu bulan kita akan memperoleh kemenangan. Pertanyaannya adalah bagaimana kita memaknai kemenangan itu? Apakah kemenangan yang diperoleh itu sama dengan mitos kemenangan ketika kita sedang mengikuti perlombaan? Cara kita memaknai kemenangan setelah berpuasa tampak bersifat ambigu. Setelah puasa kita memperoleh kemenangan atas keberhasilan menahan nafsu. Tetapi kita mewujudkan kemenagan itu dengan perbuatan yang tidak bersifat menahan diri.

Sebaliknya, kita mewujudkan kemenangan itu dengan perbuatan konsumerisme untuk memuaskan diri kita. Bila seperti ini yang terjadi, apakah kita sebenarnya berhak untuk memperoleh kemenangan itu? Kita mungkin tidak mendapatkan kemenangan yang sejati, melainkan kemenangan semu yang mengelabui diri kita sendiri.

Fitrah dan Mitos Serba Baru
Kita diajarkan bahwa setelah berpuasa kita akan memperoleh kesucian atau fitrah sebab kita dianggap telah berhasil menahan nafsu. Jiwa dan raga kita dianggap telah bersih dari dosa seperti kertas putih atau seperti bayi yang baru lahir. Kesucian yang diperoleh melalui puasa dikukuhkan lagi oleh zakat fitrah yang dibayarkan sebelum masuknya Idul Fitri. Semakin sempurnalah prediket kemenangan dan kesucian kita itu. Bagaimanakah tradisi kita mewujudkan konsep kesucian atau fitrah itu?

Sebagai makhluk yang kreatif, kita mempunyai tradisi khusus untuk memanifestasikan fitrah, yaitu dengan cara pengadaan barang-barang baru di sekitar kita. Kita telah melakukan proses simplifikasi atau penyederhanaan terhadap Idul Fitri dengan cara melakukan perbuatan simbolik untuk menunjukkan semangat yang terkandung dalam Idul Fitri.

Alam bawah sadar kita telah terlanjur menganggap bahwa ketika kita menggunakan barang yang serba baru maka kita berada dalam kondisi suci seperti bayi yang baru lahir itu. Kita menganggap baju baru sebagai keharusan sehingga kita akan malu bila tidak memakai baju baru. Kita pun akhirnya memaksakan diri untuk membeli barang-barang baru demi menyelamatkan harga diri kita dari pandangan mata orang lain.

Proses simplifikasi memakai barang serba baru hanya bersifat simbolik. Tidak ada hubungan yang hakiki antara Hari Raya Idul Fitri dengan baju baru. Memakai baju baru hanya suatu perbuatan simbolik untuk memberikan makna pendukung agar kondisi fitrah itu dapat diwujudkan dalam perbuatan manusia. Fitrah atau kesucian itu berada dalam hati atau jiwa manusia. Agar fitrah itu lebih terlihat secara material maka kefitrahan itu diwujudkan dengan perbuatan memakai baju baru.***

Dr Junaidi SS MHum, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak dan dosen S2 Ilmu Komunikasi Umri.