Tatkala seseorang usai menunaikan zakat maal (zakat harta) senilai 2,5 persen dari hartanya, maka sudah terpenuhilah hukum Islam (fiqh) yang dibebankan padanya.
Sementara usai membayar zakat, terlihat seorang anak miskin yang kelaparan, orang itu pun pikir-pikir untuk membantunya. Padahal zakat itu adalah standar minimal yang ditetapkan hukum Islam. Kalau Anda mau membayar lebih, tentu yang lebih ini lebih utama.
Kita selama ini lebih banyak menjalankan ibadah standar ”lunas”, tidak ada keinginan untuk lebih baik. Nah pada ibadah puasa ini Allah SWT mengisyaratkan mau pilih yang mana? Mau puasa sekadarnya saja, menahan rasa lapar dan haus, atau menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin.
Mengutip pandangan Cak Nun —Emha Ainun Najib— manusia seperti ini adalah manusia fiqh, yakni melaksanakan ibadah sebatas anjuran fiqh. Kalau sudah melaksanakan ibadah sesuai dengan rukunnya, maka sudah selesailah urusannya ibadahnya pada Allah.
Pada tahap ini, kesadaran manusia beragama baru pada taraf sekadar menjalankan aturan main dari Allah atau agama. Misalnya, kalau zakat mensyaratkan cukup 2,5 persen, padahal ia mampu 10 persen, maka yang ia pilih adalah yang 2,5 persen. Dengan kata lain, yang ia pilih hanyalah sekadar untuk memenuhi ritual sesuai hukum fiqh.
Di atas manusia fiqh adalah cinta atau hub. Kalau orang sampai pada tataran ini, ia tidak lagi sekadar memenuhi aturan hukum fiqh. Ia akan melakukan apa saja yang terbaik bagi ciptaan Allah berdasarkan rasa cinta. Ia akan rela menolong siapa saja meskipun hukum, misalnya, tidak mewajibkan hal itu. Sederhana saja, landasannya adalah rasa cinta.
Di atas cinta adalah takwa, yang merupakan tujuan utama berpuasa. Salah satu ciri orang yang betakwa adalah menyerahkan semua hidupnya hanyalah kepada Allah. Ia hanya menangis di hadapan Allah dan tidak di hadapan manusia. Ia tidak akan berbalik perilakunya meskipun puasa telah berlalu.
Makanya Allah pun isyaratkan manusia yang benar-benar menjalankan ibadah puasa akan memperoleh titel takwa. Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus alias sekadar lunas. Puasa baginya merupakan proses pendidikan rohani. Ia akan kreatif memainkan kecerdasan emosional, intelektual, dan kecerdasan spiritual untuk mencari hikmah di balik puasa.
Misalnya ia makin paham bahwa ketika siang hari nafsunya menuntun akan menghabiskan seluruh makanan yang ada di meja saat buka puasa nanti, begitu berbuka tiba, ia baru sadar bahwa nafsu besar tadi akan ditolak oleh perut. Perut adalah bagian badan yang jujur bahwa ia memiliki keterbatasan. Di sinilah ibadah puasa itu menjelaskan mana sejati dan mana yang palsu.
Islam memang menganjurkan kita memperoleh harta yang berlimpah, tetapi tidak untuk dikonsumsi sendiri. Harta itu harus bermanfaat. Harta itu tidak akan bisa dibawa mati. Tapi ada cara lain, bagaimana agar harta itu bisa dibawa mati. Caranya? Ya dimanfaatkan untuk kebaikan. Harta itu bermanfaat bagi orang lain, dan dari manfaat itulah pahalanya bisa dibawa pulang ke ‘’kampung akhirat”.
Padahal puasa mengajarkan mana yang sejati dan mana yang palsu. Yang sejati bisa di bawa mati, sedangkan yang palsu hanya menjadi rebutan anak cucu ketika ia meninggal. Islam juga mempersilakan umatnya untuk mencari harta sebanyak mungkin, asal halalal dan thoyyiban. Dan yang penting, harta adalah benda material yang harus ditransformasikan menjadi “energi” agar dapat di bawa mati.
Dalam term agama disebut “diamalsalehkan”. Sebuah mobil yang ia miliki tidak bisa dibawa mati kalau hanya berujud mobil. Benda itu dapat dibawa mati ketika diamalkan, misalnya sering untuk menolong tetangga yang memerlukannya. Pokoknya, mobil itu bermanfaat bagi umat.
Yang terjadi pada bulan puasa adalah kebaikan semu. Lihat saja nanti begitu menjelang hari raya kurang tiga hari, orang sudah lupa Salat Tarawih, sudah lupa bersedekah, lupa berpenampilan baik dan sabar. Yang ia pikirkan adalah memenuhi nafsu memborong segala keperluan yang berlebihan menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Memang Idul Fitri bukanlah suatu yang akhir. Masih akan ada perjuangan yang harus dilalui sesudahnya. Seperti yang pernah diisyaratkan Rasulullah seusai Perang Badr di akhir Ramadan. Bahwa, dari perang kecil (Perang Badr) masih ada perang yang lebih besar untuk menegakkan agama yang benar.
Beragama yang benar adalah nasihat menasihati. Sabda Rasul: Addinun Nashihhat, arti nasehat bukan sekadar membimbing dengan kata-kata, tetapi menunjukkan serta mendukung segala kebajikan dengan amal perbuatan, sehingga pemberi nasihat mengantar orang yang dinasihati kepada suasana keterbukaan, tenggang rasa, serta insyaf bahwa keperluan manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan bantuan orang lain.
Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas.
Adapun mengenai perayaan Idul Fitri yang berbeda waktu, janganlah dijadikan perdebatan dan masalah besar. Sebaliknya, terimalah perbedaan itu sebagai rahmat dan tetap menjalin tali silaturahmi. Bukankah diturunkan ajaran Islam ini untuk rahmatan lil alamin.
Masih ingat di saat kita masih anak-anak dulu kala. Hari Raya Idul Fitri merupakan hari yang sangat indah. Bukan berarti harus berbaju baru atau makanan yang lezat, tetapi orang tua kita mengajarkan pada diri kita bahwa kita telah ”menang”, karena selama Ramadan kita berhasil puasa penuh. Sikap seperti ini yang nampaknya mulai luntur.
Tapi zaman sekarang sudah bergeser, mereka yang tidak puasa tetap percaya diri merayakan hari raya. Walau hari rayanya terasa hambar.
Sementara mereka yang puasa penuh, merayakan hari raya dengan kesederhanaan tetapi nikmat, walau tidak ada baju baru dan makanan lezat. Bagai anak kecil yang belajar puasa, berhasil satu hari penuh. Akan terkenang sampai akhir hayatnya. Yang menjadi pertanyaan, di posisi mana kita saat ini?***
Bagus Santoso SAg MP, mantan wartawan Riau Pos, diamanahkan jadi anggota DPRD Riau
Sementara usai membayar zakat, terlihat seorang anak miskin yang kelaparan, orang itu pun pikir-pikir untuk membantunya. Padahal zakat itu adalah standar minimal yang ditetapkan hukum Islam. Kalau Anda mau membayar lebih, tentu yang lebih ini lebih utama.
Kita selama ini lebih banyak menjalankan ibadah standar ”lunas”, tidak ada keinginan untuk lebih baik. Nah pada ibadah puasa ini Allah SWT mengisyaratkan mau pilih yang mana? Mau puasa sekadarnya saja, menahan rasa lapar dan haus, atau menjalankan ibadah puasa sebaik mungkin.
Mengutip pandangan Cak Nun —Emha Ainun Najib— manusia seperti ini adalah manusia fiqh, yakni melaksanakan ibadah sebatas anjuran fiqh. Kalau sudah melaksanakan ibadah sesuai dengan rukunnya, maka sudah selesailah urusannya ibadahnya pada Allah.
Pada tahap ini, kesadaran manusia beragama baru pada taraf sekadar menjalankan aturan main dari Allah atau agama. Misalnya, kalau zakat mensyaratkan cukup 2,5 persen, padahal ia mampu 10 persen, maka yang ia pilih adalah yang 2,5 persen. Dengan kata lain, yang ia pilih hanyalah sekadar untuk memenuhi ritual sesuai hukum fiqh.
Di atas manusia fiqh adalah cinta atau hub. Kalau orang sampai pada tataran ini, ia tidak lagi sekadar memenuhi aturan hukum fiqh. Ia akan melakukan apa saja yang terbaik bagi ciptaan Allah berdasarkan rasa cinta. Ia akan rela menolong siapa saja meskipun hukum, misalnya, tidak mewajibkan hal itu. Sederhana saja, landasannya adalah rasa cinta.
Di atas cinta adalah takwa, yang merupakan tujuan utama berpuasa. Salah satu ciri orang yang betakwa adalah menyerahkan semua hidupnya hanyalah kepada Allah. Ia hanya menangis di hadapan Allah dan tidak di hadapan manusia. Ia tidak akan berbalik perilakunya meskipun puasa telah berlalu.
Makanya Allah pun isyaratkan manusia yang benar-benar menjalankan ibadah puasa akan memperoleh titel takwa. Puasa tidak hanya menahan lapar dan haus alias sekadar lunas. Puasa baginya merupakan proses pendidikan rohani. Ia akan kreatif memainkan kecerdasan emosional, intelektual, dan kecerdasan spiritual untuk mencari hikmah di balik puasa.
Misalnya ia makin paham bahwa ketika siang hari nafsunya menuntun akan menghabiskan seluruh makanan yang ada di meja saat buka puasa nanti, begitu berbuka tiba, ia baru sadar bahwa nafsu besar tadi akan ditolak oleh perut. Perut adalah bagian badan yang jujur bahwa ia memiliki keterbatasan. Di sinilah ibadah puasa itu menjelaskan mana sejati dan mana yang palsu.
Islam memang menganjurkan kita memperoleh harta yang berlimpah, tetapi tidak untuk dikonsumsi sendiri. Harta itu harus bermanfaat. Harta itu tidak akan bisa dibawa mati. Tapi ada cara lain, bagaimana agar harta itu bisa dibawa mati. Caranya? Ya dimanfaatkan untuk kebaikan. Harta itu bermanfaat bagi orang lain, dan dari manfaat itulah pahalanya bisa dibawa pulang ke ‘’kampung akhirat”.
Padahal puasa mengajarkan mana yang sejati dan mana yang palsu. Yang sejati bisa di bawa mati, sedangkan yang palsu hanya menjadi rebutan anak cucu ketika ia meninggal. Islam juga mempersilakan umatnya untuk mencari harta sebanyak mungkin, asal halalal dan thoyyiban. Dan yang penting, harta adalah benda material yang harus ditransformasikan menjadi “energi” agar dapat di bawa mati.
Dalam term agama disebut “diamalsalehkan”. Sebuah mobil yang ia miliki tidak bisa dibawa mati kalau hanya berujud mobil. Benda itu dapat dibawa mati ketika diamalkan, misalnya sering untuk menolong tetangga yang memerlukannya. Pokoknya, mobil itu bermanfaat bagi umat.
Yang terjadi pada bulan puasa adalah kebaikan semu. Lihat saja nanti begitu menjelang hari raya kurang tiga hari, orang sudah lupa Salat Tarawih, sudah lupa bersedekah, lupa berpenampilan baik dan sabar. Yang ia pikirkan adalah memenuhi nafsu memborong segala keperluan yang berlebihan menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Memang Idul Fitri bukanlah suatu yang akhir. Masih akan ada perjuangan yang harus dilalui sesudahnya. Seperti yang pernah diisyaratkan Rasulullah seusai Perang Badr di akhir Ramadan. Bahwa, dari perang kecil (Perang Badr) masih ada perang yang lebih besar untuk menegakkan agama yang benar.
Beragama yang benar adalah nasihat menasihati. Sabda Rasul: Addinun Nashihhat, arti nasehat bukan sekadar membimbing dengan kata-kata, tetapi menunjukkan serta mendukung segala kebajikan dengan amal perbuatan, sehingga pemberi nasihat mengantar orang yang dinasihati kepada suasana keterbukaan, tenggang rasa, serta insyaf bahwa keperluan manusia tidak dapat dipenuhi kecuali dengan bantuan orang lain.
Yang lebih penting, semoga saja tak cuma simbol yang melekat pada diri kita selepas puasa sebulan penuh ini. Segala aspek kehidupan yang lurus yang kita jalani selama Ramadan ini hendaknya menjadi titik tolak untuk melangkah ke depan. Hal ini kita mulai dari diri kita sendiri, barulah kemudian ke jenjang yang lebih besar yakni saudara, keluarga, tetangga, hingga masyarakat luas.
Adapun mengenai perayaan Idul Fitri yang berbeda waktu, janganlah dijadikan perdebatan dan masalah besar. Sebaliknya, terimalah perbedaan itu sebagai rahmat dan tetap menjalin tali silaturahmi. Bukankah diturunkan ajaran Islam ini untuk rahmatan lil alamin.
Masih ingat di saat kita masih anak-anak dulu kala. Hari Raya Idul Fitri merupakan hari yang sangat indah. Bukan berarti harus berbaju baru atau makanan yang lezat, tetapi orang tua kita mengajarkan pada diri kita bahwa kita telah ”menang”, karena selama Ramadan kita berhasil puasa penuh. Sikap seperti ini yang nampaknya mulai luntur.
Tapi zaman sekarang sudah bergeser, mereka yang tidak puasa tetap percaya diri merayakan hari raya. Walau hari rayanya terasa hambar.
Sementara mereka yang puasa penuh, merayakan hari raya dengan kesederhanaan tetapi nikmat, walau tidak ada baju baru dan makanan lezat. Bagai anak kecil yang belajar puasa, berhasil satu hari penuh. Akan terkenang sampai akhir hayatnya. Yang menjadi pertanyaan, di posisi mana kita saat ini?***
Bagus Santoso SAg MP, mantan wartawan Riau Pos, diamanahkan jadi anggota DPRD Riau