PEMUDIK jangan lagi membawa tenaga kerja di desa ke kota, kalau itu nantinya akan jadi beban baru di kota. Ingat, hidup di kota tidak jauh lebih baik dibanding di kota, kalau tidak memiliki skill yang dibutuhkan.
SORE ini, puasa usai—menyusul datangnya Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Pada masa-masa seperti ini biasanya diwarnai dengan terlihat tradisi mudik lebaran yang dilakukan peduduk yang bermukim di sejumlah kota di tanah air—termasuk kota-kota yang ada di Riau.
Kegiatan mudik atau ‘’pulang basamo’’ itu tidak hanya dilakukan oleh para penduduk legal, tapi juga yang illegal dalam artian mereka yang datang ke kota sebelumnya tampa melapor atau tercatat sebagai penduduk kota. Jumlahnya pun cukup banyak, baik berprofesi sebagai pedagang, kuli bangunan, buruh kasar bahkan juga gelandangan dan pengemis. Secara bergelombang—beberapa hari menjelang lebaran bahkan juga pada hari lebaran itu pun mereka ada yang meninggalkan kota menuju kampung halaman untuk berkumpul sanak saudara—atau ada juga yang hanya sekadar jalan-jalan.
Di Pekanbaru sendiri misalnya para pemudik mayoritas memadati arus lintas barat dengan sasaran Sumatera Barat. Karena memang mayoritas penduduk Kota Pekanbaru diisi oleh pendatang dari Sumbar. Selain itu juga tidak sedikit yang memadati arus utara dengan daerah sasaran Sumatera Utara dan Aceh, menyusul lintas selatan menuju ke Jakarta dan ke sejumlah daerah lainnya di Povinsi Riau sendiri.
Tidak berapa lama setelah lebaran, biasanya pemandangan yang sama kembali terlihat. Kalau tadi penduduk kota yang mudik ke desa, maka setelah lebaran mereka pun kembali berbondong-bondong ke kota untuk mencari penghidupan karena beranggapan bahwa hidup di kota lebih menjanjikan dibanding di desa.
Mereka menilai kota-kota termasuk yang ada di Riau ibarat gula manis yang selalu jadi inceran semut-semut. Sehingganya yang melakukan arus balik setelah lebaran itu tidak hanya orang-orang kota yang sebelumnya mudik, tapi juga diboncengi oleh pendatang baru.
Kalaulah para pendatang baru itu merupakan tenaga potensial yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan mungkin tidak akan masalah—walaupun untuk mencari lapangan pekerjaan di kota sebenarnya semakin sulit. Persoalan akan muncul apabila yang datang ke kota itu adalah tenaga potensial yang tidak memiliki skill atau keahlian tertentu yang dibutuhkan di kota.
Bahkan kalau yang datang ke kota itu berasal dari kalangan keluarga miskin dengan jumlah anakn banyak akan menjadi persoalan baru di bidang kependudukan di kota.
Jumlah pengangguran dipastikan akan makin banyak, tingkat kemiskinan akan membengkak. Dan ini akan jadi masalah social lainnya, seperti kurangnya tingkat layanan kesehatan, sulitnya mendapatkan akses pendidikan bagi anak-anak dan persoalan lainnya.
Bahkan bukan tidak mungkin akibat minimnya akses kesehatan bagi pendatang baru dari kalangan keluarga tidak mampu (miskin) akan mengakibatkan pertumbuhan penduduk miskin yang disebabkan angka kelahiran kan makin bertambah.
Kelompok-kelompok keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga (anak) banyak ini pun akhirnya mengakibatkan jumlah penduduk miskin baru. Jika ini yang terjadi, maka momok yang menakutkan—‘’baby boom’’ itu dating juga. Ini jelas akan menjadi beban social yang amat berat bagi pemerintah ke depannya.
Padahal sebaliknya—banyak yang tak paham bahwa sebenarnya hidup di desa yang lebih menjanjikan dibanding di perkotaan asalkan ada kemauan untuk berkarya, berbuat dan berkembang. Hidup sebagai pertanian, peternakan, di bidang perikanan atau wiraswasta dan sebagainya di desa akan lebih baik dibanding jadi pemulung, kuli kasar atau sejenisnya di kota.
Untuk mengantisipasi hal itu perlu upaya bersama, yang tidak hanya dating dari pemerintah semata, tapi juga semua lapisan masyarakat, lembaga social untuk mengkampanyekan bahwa hidup di kota tidak lebih baik disbanding di desa. Bahkan kepada para pemudik pun harus diingatkan bahwa tidak perlu membawa warga tenaga kerja di desa ke kota, kalau nanti akan jadi masalah baru di kota. Ini penting untuk menghindari terjadinya ledakan penduduk di ‘’negeri gula’’ yang bernama kota.
Akhirnya selamat mudik, selamat Idul Fitri 1430 H, minnal aidin wal faizin, maaf zahir dan bathin.
Catatan Yasril
SORE ini, puasa usai—menyusul datangnya Hari Raya Idul Fitri 1430 H. Pada masa-masa seperti ini biasanya diwarnai dengan terlihat tradisi mudik lebaran yang dilakukan peduduk yang bermukim di sejumlah kota di tanah air—termasuk kota-kota yang ada di Riau.
Kegiatan mudik atau ‘’pulang basamo’’ itu tidak hanya dilakukan oleh para penduduk legal, tapi juga yang illegal dalam artian mereka yang datang ke kota sebelumnya tampa melapor atau tercatat sebagai penduduk kota. Jumlahnya pun cukup banyak, baik berprofesi sebagai pedagang, kuli bangunan, buruh kasar bahkan juga gelandangan dan pengemis. Secara bergelombang—beberapa hari menjelang lebaran bahkan juga pada hari lebaran itu pun mereka ada yang meninggalkan kota menuju kampung halaman untuk berkumpul sanak saudara—atau ada juga yang hanya sekadar jalan-jalan.
Di Pekanbaru sendiri misalnya para pemudik mayoritas memadati arus lintas barat dengan sasaran Sumatera Barat. Karena memang mayoritas penduduk Kota Pekanbaru diisi oleh pendatang dari Sumbar. Selain itu juga tidak sedikit yang memadati arus utara dengan daerah sasaran Sumatera Utara dan Aceh, menyusul lintas selatan menuju ke Jakarta dan ke sejumlah daerah lainnya di Povinsi Riau sendiri.
Tidak berapa lama setelah lebaran, biasanya pemandangan yang sama kembali terlihat. Kalau tadi penduduk kota yang mudik ke desa, maka setelah lebaran mereka pun kembali berbondong-bondong ke kota untuk mencari penghidupan karena beranggapan bahwa hidup di kota lebih menjanjikan dibanding di desa.
Mereka menilai kota-kota termasuk yang ada di Riau ibarat gula manis yang selalu jadi inceran semut-semut. Sehingganya yang melakukan arus balik setelah lebaran itu tidak hanya orang-orang kota yang sebelumnya mudik, tapi juga diboncengi oleh pendatang baru.
Kalaulah para pendatang baru itu merupakan tenaga potensial yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja di perkotaan mungkin tidak akan masalah—walaupun untuk mencari lapangan pekerjaan di kota sebenarnya semakin sulit. Persoalan akan muncul apabila yang datang ke kota itu adalah tenaga potensial yang tidak memiliki skill atau keahlian tertentu yang dibutuhkan di kota.
Bahkan kalau yang datang ke kota itu berasal dari kalangan keluarga miskin dengan jumlah anakn banyak akan menjadi persoalan baru di bidang kependudukan di kota.
Jumlah pengangguran dipastikan akan makin banyak, tingkat kemiskinan akan membengkak. Dan ini akan jadi masalah social lainnya, seperti kurangnya tingkat layanan kesehatan, sulitnya mendapatkan akses pendidikan bagi anak-anak dan persoalan lainnya.
Bahkan bukan tidak mungkin akibat minimnya akses kesehatan bagi pendatang baru dari kalangan keluarga tidak mampu (miskin) akan mengakibatkan pertumbuhan penduduk miskin yang disebabkan angka kelahiran kan makin bertambah.
Kelompok-kelompok keluarga miskin dengan jumlah anggota keluarga (anak) banyak ini pun akhirnya mengakibatkan jumlah penduduk miskin baru. Jika ini yang terjadi, maka momok yang menakutkan—‘’baby boom’’ itu dating juga. Ini jelas akan menjadi beban social yang amat berat bagi pemerintah ke depannya.
Padahal sebaliknya—banyak yang tak paham bahwa sebenarnya hidup di desa yang lebih menjanjikan dibanding di perkotaan asalkan ada kemauan untuk berkarya, berbuat dan berkembang. Hidup sebagai pertanian, peternakan, di bidang perikanan atau wiraswasta dan sebagainya di desa akan lebih baik dibanding jadi pemulung, kuli kasar atau sejenisnya di kota.
Untuk mengantisipasi hal itu perlu upaya bersama, yang tidak hanya dating dari pemerintah semata, tapi juga semua lapisan masyarakat, lembaga social untuk mengkampanyekan bahwa hidup di kota tidak lebih baik disbanding di desa. Bahkan kepada para pemudik pun harus diingatkan bahwa tidak perlu membawa warga tenaga kerja di desa ke kota, kalau nanti akan jadi masalah baru di kota. Ini penting untuk menghindari terjadinya ledakan penduduk di ‘’negeri gula’’ yang bernama kota.
Akhirnya selamat mudik, selamat Idul Fitri 1430 H, minnal aidin wal faizin, maaf zahir dan bathin.
Catatan Yasril