Jumat, 27 Februari 2009

Entah karena dosa siapa. Yang jelas, setiap kali memasuki musim kemarau masyarakat Riau “terpaksa” menghirup asap yang ditimbulkan dari bakaran hutan dan lahan di salah satu propinsi terkaya tersebut. Anehnya lagi kejadian serupa selalu saja terulang setiap tahunnya. Diawali dengan musim kemarau pendek (Februari – Maret) dan terus bersambung pada kemarau panjang (Juni – September). Intensitasnya juga semakin bertambah. Bila pada tahun 1992 , ketika kebakaran pertama kali dapat terdeteksi, titik api yang muncul masih dalam bilangan puluhan, saat ini titik api serupa sudah muncul disegala tempat yang masih mamiliki hutan asli. Jumlahnyapun sudah mencapai angka ratusan. Singapura dan Malaysia pernah melayangkan surat protes bernada keras agar Indonesia mengambil sikap yang tegas terhadap pelaku pembakaran. Brunei Darussalam sepertinya hanya tinggal menunggu waktu untuk marah karena kebakaran hutan sudah muncul di Kalimantan.

Abdurahman Wahid, sebagai orang No 1 telah memberikan tanggapan walaupun gejala kebakaran telah mulai terdeteksi pada awal tahun yang sama. Ketika itu (pertengahan tahun 2000) Menhutbun dan Meneg LH dimintanya untuk mengambil tindakan konkret sehingga Sonny Keraf sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup terpaksa mengeluarkan pernyataan bahwa keadaan kebakaran hutan tersebut sudah dalam bahaya. Dilapangan, Menhutbun ketika itu – Nurmahmudi Ismail – telah meminta agar semua kegiatan penyiapan lahan perkebunan dan hutan tanaman industri, yang menjadi penyebab kebakaran, untuk sementara dihentikan. Perusahaan-perusahaan yang terkait harus sesegera mungkin memadamkan api selambat-lambatnya dua minggu terhitung sejak 15 Maret 2000.

Dalam konteks kebijakan, dibentuklah Tim Yustisi Nasional dengan tugas menyelesaikan perkara kebakaran hutan dengan agenda utamanya mengindentifikasi keterlibatan perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan, pengusaha Hutan Tanaman Industri dan pengusaha Perkebunan.

Dari kesibukan tersebut diatas sepertinya Pemerintah memiliki niat baik untuk menangani kebakaran hutan. Namun sudah tepatkah tindakan tersebut mengingat hal dan perlakuan yang sama selalu saja terjadi pada saat kebakaran hutan mulai melanda. Dan hasilnya? Kebakaran selalu saja terjadi. Ini adalah jawaban yang tidak terbantahkan dari pertanyaan yang muncul mengenai kinerja pemerintah terhadap pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Singkatnya kita selalu saja ribut setelah kejadian terjadi dan tidak pernah ada upaya untuk melakukan pencegahan kongkrit agar kejadian serupa tidak terulang lagi.

Selama ini, penanganan kebakaran hutan dan lahan masih bersifat reaktif dan tidak komprehensif. Dengan penanganan yang sifatnya sementara itu sudah dapat dipastikan tidak akan dapat memecahkan persoalan utama yang menyebabkan sekaligus memicu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama ini. Kesan yang muncul pada akhirnya adalah pemerintah hanya sibuk setelah kebakaran hutan terjadi dan sayangnya itupun terjadi setelah mendapatkan protes keras dari sejumlah negara tetangga. Sangat jelas kalau pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman bencana kebakaran yang terjadi pada akhir tahun 1997 yang menyebabkan terganggunya ekonomi, ekologi dan hubungan baik antar negara.

BERBAGAI DAMPAK YANG DITIMBULKAN

Tulisan ini mencoba untuk mengupas dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau dari berbagai aspek dan diakhiri dengan beberapa kesimpulan dan saran-saran apa dan bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia berkenaan dengan kebakaran hutan dan lahan tersebut.

Dalam dua bulan terakhir, sejumlah NGO dan Instansi pemerintah di Riau yang konsern terhadap kebakaran hutan dan lahan di Riau berkumpul untuk mencoba menyikapi lebih jauh dampak-dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan beberapa pokok penting lainnya yang harapannya bisa dijadikan masukan dalam mencegah maupun menanggulangi kebakaran hutan.

Dari diskusi bergulir tersebut, beberapa aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan tersebut adalah:

1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi

a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb.

b. Terganggunya aktivitas sehari-hari
Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.

c. Peningkatan jumlah Hama
Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain.

Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.

Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar.

d. Terganggunya kesehatan
Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut.

e. Produktivitas menurun
Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya.

Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.

2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan

a. Hilangnya sejumlah spesies
Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia.

b. Ancaman erosi
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor.

c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan
Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut.

Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.

d. Penurunan kualitas air
Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.

e. Terganggunya ekosistem terumbu karang
Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.

f. Menurunnya devisa negara
Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.

g. Sedimentasi di aliran sungai
Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus.

3. Dampak Terhadap Hubungan Antar negara

Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya tidak semakin tebal.

Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari tetangga.

4. Dampak terhadap Perhubungan dan Pariwisata

Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena keengganan orang untuk berada di temapt yang dipenuhi asap.

KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

Dari berbagai dampak yang muncul tersebut seharusnya pemerintah mulai bisa mereka-reka bencana musiman apa sebenarnya yang sering menghampiri Indonesia dari tahun ke tahun dan dampak apa yang ditimbulkan dari bencana tersebut. Namun, untuk tidak menyebut pemerintahan kita keras kepala dan sedikit tuli untuk melakukan refleksi, sepertinya kita lebih siap menjadi barisan pemadam kebakaran dibanding mempersiapkan seperangkat aturan yang mampu paling tidak meminimalisir kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan dimasa yang akan datang.

Padahal lagi, sejak bencana kebakaran hutan yang terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan. Namun entah mengapa hingga sekarang ini pemerintah sepertinya tidak mampu memanfaatkan berbagai kajian yang telah dilakukan tersebut. Bahkan sejumlah bantuan yang diantaranya datang dari UNDP dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup yang pada tahun 1998 telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan Bencana kebakaran-pun seolah tidak mampu dimanfaatkan.

Fakultas Kehutanan IPB sendiri pernah menelurkan 14 rancangan kebijakan yang dalam prosesnya dilakukan bersama-sama Departemen Kehutanan dan International Tropical Timber Organization (ITTO). Seluruh kajian tersebut menghasilkan rekomendasi kebijakan operasional yang, sekali lagi, belum diadopsi menjadi kebijakan pemerintah.

Sementara berbagai kajian belum diadopsi, walaupun pemerintah secara eksplisit meminta untuk itu, UU Kehutanan no 41 tahun 1999 dan rancangan pemerintah tentang Perlindungan Hutan dan Konservasi alam juga tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Contohnya, larangan membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d). Dan dengan kebiasaan peraturan undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan. Bandingkan dengan negara Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan lahan dengan cara bakar. UU ini juga secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit dan/ 5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan.

Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari UU No 41/99 ini yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun 99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan Produksi tidak memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.

Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan.

Upaya Bapedal menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat dari suatu Undang-undang. Sedangkan Undang-Undang No 41 tentang Kehutanan maupun UU No. 23/97 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan. Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen command and control (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut harus dalam bentuk UU (DPR RI bersama Pemerintah).

Dengan demikian adalah suatu hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan yang komprehensif dan terintegrasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Akibat kebakaran hutan tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomis dan kerusakan ekosistem. Kita juga dicap sebagai bangsa dan masyarakat yang tidak bisa dan tidak mau memelihara kekayaan alam. Padahal kawasan hutan di Indonesia luasnya mencapai 10 persen dari hutan tropis yang ada di dunia atau ke tiga terbesar setelah Zaire dan Brasil.

Bukan hanya itu. Asap tebal yang mengganggu ruang udara tetangga membuat sejumlah negara mencap kita sebagai bukan tetangga yang baik. Tidak hanya faktor kesehatan dan kegiatan masyarakat yang terganggu, tetapi lebih jauh menyangkut terganggunya navigasi penerbangan dan pelayaran.

Awal tahun ini, disaat kita masih sibuk dengan berbagai upaya pemulihan yang direcoki dengan berbagai persoalan residu orde baru, bukannya tidak mungkin musibah itu berulang. Kebakaran hutan seperti pada tahun 1997 terjadi lagi dalam keadaan kita serba tergagap-gagap mengahadapi kebusukan masa lalu yang satu persatu terbuka.

Mengutip prediksi para ahli bahwa El Nino akan terjadi pada pertengahan tahun ini, kemungkinan itu sepertinya semakin besar. Ditambah dengan kelalaian dan kelengahan kita, kebakaran hutan dengan materi dan harga diri lebih dahsyat akan terulang. Kalau itu terjadi, lagi-lagi kita akan menerima cap buruk sebagai bangsa yang tidak bisa mensyukuri anugrah dan kebesaran alam. Indonesia bukan hanya dicap buruk sebagai tempat yang subur untuk pelanggaran HAM, KKN dan perampasan serakah terhadap kekayaan alam beserta isinya, melainkan juga negara dengan warga dan pemerintah yang tidak tahu berterimakasih, sehingga tidak layak dijadikan teman.

Kepercayaan rasanya semakin jadi barang mewah dan mahal. Terus menerus kita membangun kepercayaan. Kepercayaan sekarang menjadi kata kunci. Dengan kepercayaan terbuka kemungkinan-kemungkinan rasa simpatik dan bantuan-bantuan finansial lain yang kita butuhkan.

Artinya dalam sekian sarana membangun kepercayaan keluar dan ke dalam kita masukkan keseriusan kita mengurus hutan. Kelalaian dan kelengahan kita menangani kebakaran hutan adalah pekerjaan mendesak yang harus segera diambil dan dilakukan. Hambatan psikologis dan politis dalam soal hutan tidaklah serumit menangani pelanggaran HAM di Timor-Timur, Kasus Aceh, pengadilan korupsi maha besar, pemulihan ekonomi yang berkesan maju mudur apalagi berurusan dengan lembaga Mahkamah Agung. Masalahnya bagaimana pemerintah ini bisa lebih cekatan dalam menangani dan mengeluarkan perintah, diikuti dengan tindakan serius dan nyata menghentikan merebaknya kebakaran hutan. Kalau tidak cekatan, kebakaran hutan maha dahsyat tahun 1997, jangan disesali, akan terulang. wallahualam bissawab. [selesai]

Tulisan ini diambil dari :
Rully Syumanda
http://www.walhi.or.id/