KPK Optimis Tetap Berantas Korupsi
17 September 2009
JAKARTA (RP) - Pascapenetapan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka oleh Mabes Polri, dua wakil ketua yang tersisa M Jasin dan Haryono Umar menyatakan tetap optimis bahwa KPK mampu memberantas korupsi di Indonesia.
Menurut Jasin, KPK masih memiliki wewenang melakukan pemberantasan korupsi, baik itu penindakan maupun pencegahan, meski hanya tertinggal dua pimpinan saja. “Yang pasti dalam UU KPK (UU Nomor 30 tahun 2002, red) tidak menyinggung batas minimal tentang jumlah pimpinan KPK yang berhak mengambil keputusan,” tegas Jasin, kemarin.
Jasin menambahkan, merujuk Pasal 36 huruf b UU KPK, apabila pimpinan KPK terlibat kasus hukum maka mereka tidak boleh mengambil kebijakan. “Merujuk pasal ini dalam pengambilan keputusan pimpinan tidak harus lengkap,” jelasnya. Dengan begitu, meskipun tersisa dua pimpinan, KPK belum bisa dikatakan lumpuh.
Namun selama ini berkembang pendapat bahwa sifat kepemimpinan KPK kolektif kolegial. Pimpinan harus berjumlah lima orang. Artinya setiap keputusan harus diambil bersama. Namun apabila pimpinan tersisa dua orang, maka mereka tidak bisa lagi mengambil keputusan. Sebab, bila terjadi perbedaan pendapat maka, keputusan mereka tak bisa final. Hal tersebut juga pernah dipersoalkan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK, pascapenahanan Antasari. Di mana pimpinan tinggal empat orang. Kalangan DPR mempersoalkan sifat kolektif kolegial itu. Mereka mendesak KPK tak mengambil keputusan strategis.
Rapat internal KPK, kata Jasin, juga telah memutuskan bahwa dua pimpinan yang berstatus tersangka tidak dibolehkan mengambil keputusan. “Berdasarkan rapat internal bersama biro hukum mereka tidak mengambil keputusan dulu,” ucapnya. Pemberhentian itu akan ditegaskan Presiden dengan mengeluarkan keputusan penonaktifan. Sama halnya, saat Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Nasruddin.
Jasin menambahkan bahwa sifat kolektif kolegial itu digunakan saat mengambil keputusan penindakan dan pencegahan. “Jadi kalau dalam penindakan itu, kami merapatkan dari proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan,” ungkapnya. Sedangkan untuk hal-hal yang lebih teknis, seperti pengeluaran surat cekal dan pencabutan cekal cukup dilakukan seorang pimpinan.
Sementara dua pimpinan yang tersisa, Jasin mengatakan akan mengadakan rapat untuk pembagian tugas. Siapa yang bertugas melakukan penindakan dan siapa pula yang membidangi pencegahan. “Dulu pembagian tugas saat pimpinan masih lengkap bisa diatur dengan surat keputusan,” jelasnya.
Ketua Dewan Penasihat Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis mengungkapkan bahwa dua orang pimpinan KPK masih bisa mengambil keputusan. “Undang-undang tidak mengatur berapa pimpinan bisa mengambil keputusan,” jelasnya.
Meskipun dua pimpinan yang tersisa tidak memiliki latar belakang hukum, untuk mengambil keputusan bidang penindakan mereka bisa meminta bantuan dari biro hukum. “Untuk bahan pertimbangan mereka bisa minta bantuan biro hukum,” terangnya.
Sementara itu sejumlah tokoh nasional kemarin juga menyelenggarakan pertemuan di Gedung KPK. Mereka berupaya mencermati pelemahan yang terjadi di lembaga antikorupsi akhir-akhir ini.
Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan itu. Di antaranya Sosiolog UI Imam B Prasodjo, Todung Mulya Lubis, Ketua MUI Amidhan, Ekonom Faisal Basri, Praktisi Manajemen Rhenald Kasali, Ketua PB NU Masdar F Mas’udi, sejumlah mantan pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean.
Kehadiran mereka merumuskan petisi untuk menyelamatkan KPK dari ambang kehancuran. Mereka juga menolak apabila M Jasin dan Haryono Umar akhirnya memilih mengundurkan diri dari KPK. “Anda tidak bisa memilih mengundurkan diri. KPK masih perlu orang seperti Anda,” ucap seorang peserta yang hadir dalam pembahasan petisi itu.
Dalam pembahasan itu muncul desakan agar KPK segera memanggil pejabat Polri yang berinisial SD. Dia diduga memiliki konflik kepentingan dalam penanganan penyalahgunaan wewenang yang menyeret Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. “Saya ingin melihat dua pimpinan KPK yang tersisa segera memanggil pejabat kepolisian berinisial SD,” jelasnya.
KPK juga didesak tidak meminta belas kasihan Presiden terkait konflik dengan polisi. “KPK memiliki senjata untuk memeriksa polisi. Saya kira polisi akan sangat ketakutan kalau mereka diperiksa kekayaannya,” ucap Sekjen TII Teten Masduki. Ibaratnya, dalam konflik itu KPK terlalu banyak berpikir sehingga kalah cepat dalam mencabut pistol. “Akibatnya mati duluan,” ucapnya.
Mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki mengungkapkan bahwa dalam menghadapi konflik, KPK harus lebih jeli. “Kalau konflik dengan kepolisian itu merupakan konflik hukum maka harus dihadapi dengan hukum, kalau politik hadapilah dengan cara politik,” ucapnya. Untuk itu, KPK harus membentuk komite etik yang menilai apakah yang dilakukan Bibit dan Chandra termasuk penyalahgunaan wewenang.
Akhirnya sejumlah tokoh itu menelurkan sembilan petisi. Di antaranya, menolak upaya pengerdilan KPK yang dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui pembahasan rancangan UU Pengadilan Tipikor karena telah menyimpang dari amanat reformasi. Menolak RUU Pengadilan Tipikor yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi, petisi itu juga memuat desakan pembersihan institusi kepolisian dari kepentingan para koruptor, mendorong perlunya pembentukan Komite Etik KPK. Kelompok tersebut juga mendesak pengkajian ulang atas tuduhan dan penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Tim Independen untuk membuktikan ada atau tidaknya dugaan konflik kepentingan oleh oknum petinggi Polri yang menangani kasus tersebut. Kelompok juga menunda pemberhentian sementara dua pimpinan KPM oleh Prseiden sampai hasil tim komite etik rampung.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan tugas KPK akan terganggu jika hanya dikendalikan oleh dua orang pimpinan, Untuk itu, ia tengah mencari konstruksi hukum dan administrasi yang tepat agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan KPK.
“Saya sedang mencari konstruksi hukum dan administrasi yang paling tepat, bagaimana agar tidak terjadi kevakuman dalam kepemimpinan KPK, sehingga bisa tetap menjalankan tugasnya,” kata SBY di Kantor Presiden, Rabu (17/9). Kapolri Bambang Hendarso Danuri turut mengikuti rapat terbatas Bidang Polkam di Kantor Presiden. Namun saat SBY memberikan keterangan pers, BHD tidak ikut serta. SBY didampingi Menkopolhukam Widodo AS, Menkum HAM Andi Matalatta, Mensesneg Hatta Rajasa dan Menseskab Sudi Silalahi.
SBY berniat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengatasi kekosongan kepemimpinan di KPK. Sebelum mengambil langkah itu, SBY akan berkonsultasi dengan DPR, MK, dan MA. “Perppu itu kandungannya supaya KPK tetap berjalan dan tidak ada kekosongan hukum,” kata SBY.
Presiden mengatakan, jika undang-undang tidak memungkinkan hanya ada dua pimpinan KPK, harus ada pemilihan kembali. Namun, pemilihan kembali baru bisa dilakukan jika pimpinan KPK diberhentikan tetap, ketika sudah menjadi terdakwa. Proses penggantian pun juga akan memakan waktu lama. “Oleh karena itu, saya berpikir kemungkinan untuk mengisi kekosongan ini dengan konstruksi hukum yang paling tepat,” kata SBY.
SBY juga meminta semua pihak untuk menyerahkan semuanya kepada proses hukum. “Bagi saya sangat gamblang, keadilan adalah kalau salah ya dihukum. Kalau tidak salah ya dibebaskan dari tuntutan hukum. Harapan saya semua proses itu seperti itu, jangan belum-belum pasti salah dan pasti dihukum, keadilan menjadi retak,” kata presiden.
Presiden berharap kepada dua pimpinan KPK yang masih aktif beserta jajarannya, untuk tetap menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. “Bisa saja di antara anggota KPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, siapapun, bisa ada masalah. Tetapi, lembaganya tidak bermasalah, dan harus menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya,” kata SBY.
Dugaan Uang Suap
Di bagian lain, polisi yakin kedua tersangka memaksa seseorang menyerahkan sesuatu yang melanggar Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuatu itu diduga berupa surat cekal untuk Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal untuk Djoko Tjandra.
Namun, pihak Imigrasi menyatakan penerbitan cekal yang diminta Komisi Pemberantasan Korupsi sudah prosedural. Direktur Penyidikan Imigrasi Muchdor mengatakan selama ini, hubungan KPK dan Imigrasi dalam penerbitan cekal tidak ada yang keliru. “KPK tak pernah memaksa kami dalam mengeluarkan cekal,” ujar Muchdor saat dihubungi JPNN, Rabu (16/09).
Menurut Muchdor, Depkumham merasa proses cekal adalah hal yang wajar. “Semuanya berlangsung biasa. Tanpa ada paksaan. Pengiriman dan permintaan cekal itu lewat persuratan normal. Permintaan cekal juga kami layani sama dengan kejaksaan dan kepolisian,” tegasnya.
Malam tadi, Bibit dan Chandra selesai menjalani pemeriksaan sekitar pukul 19.10 WIB. Mereka diperiksa sejak pukul 11.00 WIB. Mereka tidak ditahan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Kedua orang tersebut hanya dikenakan wajib lapor pada 28 September nanti.
Pertanyaan yang diajukan oleh keduanya masih seputar masalah mengenai pencekalan, penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Pengacara Bibit, Luhut MP Pangaribuan menilai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik tidak relevan. Bahkan tidak ada pertanyaan yang mengarah ke pelanggaran Pasal 12 Huruf e UU No 31/1999. Bibit ditanya 59 butir pertanyaan, sedangkan Chandra 50 pertanyaan.
Luhut menilai prosedur pencekalan hingga penyidikan di KPK sudah ada SOP. Wewenang yang dilakukan oleh mereka juga sudah diatur oleh UU. Keluar dari Bareskrim, Chandra Hamzah tampak lelah. Dia enggan menjawab mengenai kontroversial peningkatan status dirinya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada pengamat hukum. “Tanya ahli hukum saya tidak bisa memberikan pendapat,” katanya.
Sedangkan Bibit Samad Riyanto menilai semua yang mereka lakukan tak ada yang menyalahi undang-undang. Bibit menjelaskan, pencekalan oleh KPK terhadap Djoko Soegiarto Tjandra dilakukan karena Direktur Utama PT Era Giat Prima itu diduga terlibat kasus Jaksa Tri Urip Gunawan. “Namun, setelah diteliti (dia) tidak terlibat, maka cekal dicabut,” kata Bibit usai diperiksa.
Namun pembelaan pengacara dan para tersangka dipatahkan oleh polisi. Bareskrim Polri menegaskan Chandra M Hamzah dan Bibid Samat Riyanto sebagai tersangka karena ada dugaan suap. “Kenapa (surat) cegah cekal itu ada karena aliran uang ini ada,” ujar Direktur III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Yovianus Mahar di Mabes Polri.
Yovianus membeberkan adanya aliran uang Rp5,1 miliar dari Anggoro Widjojo. Kemudian setelah surat pencekalan dari KPK muncul, ada permintaan Rp1 miliar dan semuanya sudah dialirkan. “Saya jelaskan bahwa aliran uang itu ada, bukti saksi, dan petunjuk aliran uang itu ada. Sampai tidaknya (aliran dana) ini yang sedang kita lakukan penyelidikan,” katanya.
Yovianus menerangkan, dalam suatu kasus suap jika tidak tertangkap tangan pembuktiannya perlu suatu teknik-teknik dalam pembuktian. “Oleh karena itu masalah dia dapat atau tidak, aliran itu ada, permintaan itu ada,” katanya.
Aliran dana itu bermula dari testimoni Antasari Azhar empat halaman bertanggal 16 Mei 2009. Selain itu, penyidik juga mengantongi laporan pengacara Anggoro, Bonaran Situmeang, yang menyatakan bahwa kliennya di Singapura menyerahkan Rp6,1 miliar pada Ari Muladi dan Eddy Sumarsono yang mengaku sebagai suruhan KPK. Polisi kini telah menahan Ari sebagai tersangka penipuan dan penggelapan.
Menurut Yovianus, ada 3 alat bukti yang digunakan Polri. Penetapan dua pimpinan KPK menjadi tersangka itu telah sesuai pasal 184 KUHAP. Pasal itu menyebutkan 5 alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka. “Dari lima, sudah kita dapatkan 3. Dua dari tiga alat bukti itu bisa kita nyatakan perbuatan itu ada,” katanya. Tiga alat bukti yang sudah dimiliki polisi yaitu hasil pemeriksaan saksi, surat-surat dan keterangan saksi ahli.
Yovianus menjelaskan, 16 saksi telah diperiksa. Selain itu surat yang berkaitan dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK juga ditemukan. “Pencegahan dan penerimaan serta dan sebagainya, itu sebagai alat bukti untuk surat. Kemudian, untuk petunjuk rangkaian dari suatu cerita menjadi petunjuk,” katanya.
Bukti lainnya, kata Yovianus, adalah keterangan dari saksi ahli. “Ahli sudah kita periksa dan menyatakan itu merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh oknum ini sesuai dengan pasal yang dijelaskan,” tambahnya.
Polisi juga akan mengembangkan penyidikan ke arah mantan Ketua KPK Antasari Azhar. “Terkait sejauh mana pertanggungjawaban hukumannya. Ini perlu didalami lebih lanjut. Nanti kita lihat,” kata Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif Mansyur yang juga hadir dalam jumpa pers.
Menurut mantan Kapolda Kepri itu, hasil pemeriksaan sementara kepada dua tersangka ini, mereka merasa berhak untuk melakukan pencekalan karena sesuai kewenangan yang dimiliki. “Tapi, kalau melakukan hak itu, status orang harus jelas berfungsi sebagai terlidik atau tersidik. Dan kalau penetapan status itu pun harus kolektif dengan yang lain,” kata Dikdik. Polisi menyerahkan pembuktiannya itu pada proses persidangan. “Yang menentukan hakim, kita tidak menghakimi,” katanya.
Seperti diberitakan, Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka karena mencekal bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal mantan bos T Era Giat Prima Djoko Soegiarto Tjandra. Polisi menilai tindakan dua pimpinan KPK itu melanggar ketentuan dalam Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan atau Pasal 12 huruf E UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Anggoro Widjojo dicekal karena diduga terlibat kasus suap Tanjung Api-Api. Namun dalam pengembangan kasus, Anggoro kini berstatus tersangka dalam kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Anggoro juga kini berstatus sebagai buronan.
Selain itu, polisi juga mempermasalahkan pencabutan cekal terhadap mantan bos PT Era Giat Prima, Djoko Soegiarto Tjandra. Djoko Tjandra dicekal lantaran di terlibat dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani.
Pengumuman status tersebut diungkapkan Direktur III Mabes Polri Kombes Pol Yovianus Mahar dalam konferensi pers singkat di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/9) pukul 23.50 WIB. Sebelumnya Chandra dan Bibit diperiksa lebih kurang 14 jam di Bareskrim.
Usai pengumuman, di media elektronik sempat muncul perubahan status keduanya dari saksi menjadi tersangka selain masalah penyalahgunaan wewenang juga mengangkut dugaan suap. Namun itu dibantah salah seorang pengacara keduanya Alexander Lay, saat konferensi pers di Gedung KPK, Rabu (16/9) sekitar pukul 02.00 WIB dini hari.
Dalam kesempatan tersebut Alexander Lay mengatakan kliennya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga penyalahgunaan kewenangan, dalam hal ini, seorang pegawai negeri sipil memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu. Tim kuasa hukum melihat ada kejanggalan atas penetapan tersangka dua pimpinan KPK ini. “Jadi sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah proses kriminalisasi terhadap pimpinan KPK ketika menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Alexander Lay.
Alex menyatakan keberatan atas ditetapkannya tersangka karena belum mendapatkan kejelasan mengenai penetapan ini. “Kami belum jelas karena tadi kami tidak mendampingi saat pemeriksaan,” kata Alex. Dalam penetapan ini Alex melihat sebuah kejanggalan. Salah satunya mengenai pertanyaan penyidik tentang administrasi kapan pimpinan menentukan keputusan. “Yang dinilai polisi tidak benar, tim hukum akan mempelajari soal kejanggalan ini,” ujarnya.
Di bagian lain kemarin, Kejaksaan Agung menyatakan telah menunjuk tiga orang jaksa untuk mengikuti proses penyidikan Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto. Mereka yang ditunjuk sebagai jaksa peneliti (P-16) itu disebut sebagai jaksa terbaik yang ada di jajaran pidana khusus Kejaksaan Agung.
“Sudah ditunjuk tiga jaksa terbaik untuk kasus ini. Mereka yang terbaik,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji ditemui saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks parlemen, Rabu (16/9).
Tiga jaksa itu adalah Ali Mukartono, Fadil, dan Syahnan Tanjung. Mereka ditunjuk setelah Kejaksaan menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi. “Mereka yang mengikuti SPDP itu, melakukan supervisi,” terang Hendarman.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, SPDP dari Polri terkait kasus di KPK tersebut diterima Kejaksaan 3 September lalu. Di dalamnya sudah menyebutkan nama tersangka yang merupakan oknum KPK. “Saya menyebut oknum, tidak menyebut nama,” kata dia. Sebelumnya, munculnya nama Chandra Hamzah sebagai tesangka justru diketahui dari pernyataan Marwan yang menyebut inisial C.
Menurut dia, SPDP tersebut merupakan yang kedua setelah sebelumnya diterima SPDP kasus pemalsuan dan penggelapan dengan tersangka Ary Muladi. “SPDP kasus itu (penggelapan, red) saya teruskan ke pidum (pidana umum),” kata Marwan.
Pukat Minta SBY Dukung KPK
Desakan bagi Presiden Susilo Bambang Yuduyono untuk turun tangan membantu permasalahan yang dihadapi terus disampaikan. Kali ini disampaikan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta Dr Zainal Arifin Mochtar.
Menurutnya, seharusnya ada dukungan dari presiden untuk masalah yang dihadapi KPK. Selama ini SBY tidak pernah memberikan dukungannya. “Ya minimal dukungan stetement dari SBY,” ungkapnya. Zainal mengatakan, yang diminta bukan dalam ranah hukum. “SBY tidak mungkin meminta kasus itu dihentikan, tapi harus ada langkah yang lain,” terangnya.
Menurutnya, masalah tersebut tidak hanya pada ranah hukum saja, tapi sudah dibawa ke ranah politik. “Nuansa politiknya sangta kental, ini yang harus dilakukan SBY,” jelasnya. “Presiden juga harus melakukan purifikasi politisasi yang berkembang sekarang,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Hukum UGM itu mengungkapkan, tuduhan kepada para ketua KPK itu tidak berdasar. Bukti yang digunakan juga sangat lemah, seperti surat pencekalan yang sudah terbukti palsu, dan testemoni dari Antasari. “Itu kan lemah semua, tidak bisa dijadikan bukti,” ungkap pria berkacamata itu saat mengisi seminar nasioanl anti koruspi di Hotel Vini Vidi Vici (V3) Surabaya.
Zainal mengatakan, KPK dituduh melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemeriksaan Bos PT Masaro. Padahal tidak penyalahgunaan di situ, secara hukum yang dilakukan KPK itu sudah benar. Kewenangan yang dilakukan KPK itu sama dengan yang dilakukan Presiden ketika menaikan harga BBM. “Kenapa Presiden tidak diperiksa ketika menaikan harga BBM, itu kan juga melakukan kewenangan. Logikanya sama,” jelasnya.
Penyalahgunaan yang diungkapkan kepolisian itu tidak jelas. “Penyalahgunaan yang bagaimana, itu yang tidak jelas. Itu juga yang tidak bisa dibuktikan polisi,” jelasnya. Jika kepolisian bisa membuktikan kesalahan tersebut, maka tidak ada masalah jika polisi menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka.
Menurutnya, tugas persiden sekarang adalah meminta kepada kejaksanan dan kepolisian untuk membuktikannya. Jika tidak bisa maka Presiden harus meminta agar kasus itu dihentikan. “Jika dihentikan, maka pimpinan KPK harus diaktifkan kembali,” terang Zainal saat ditemui JPNN setelah acara tersebut.(lum/git/rdl/sof/fal/iro/jpnn/yud/fia)
17 September 2009
JAKARTA (RP) - Pascapenetapan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto sebagai tersangka oleh Mabes Polri, dua wakil ketua yang tersisa M Jasin dan Haryono Umar menyatakan tetap optimis bahwa KPK mampu memberantas korupsi di Indonesia.
Menurut Jasin, KPK masih memiliki wewenang melakukan pemberantasan korupsi, baik itu penindakan maupun pencegahan, meski hanya tertinggal dua pimpinan saja. “Yang pasti dalam UU KPK (UU Nomor 30 tahun 2002, red) tidak menyinggung batas minimal tentang jumlah pimpinan KPK yang berhak mengambil keputusan,” tegas Jasin, kemarin.
Jasin menambahkan, merujuk Pasal 36 huruf b UU KPK, apabila pimpinan KPK terlibat kasus hukum maka mereka tidak boleh mengambil kebijakan. “Merujuk pasal ini dalam pengambilan keputusan pimpinan tidak harus lengkap,” jelasnya. Dengan begitu, meskipun tersisa dua pimpinan, KPK belum bisa dikatakan lumpuh.
Namun selama ini berkembang pendapat bahwa sifat kepemimpinan KPK kolektif kolegial. Pimpinan harus berjumlah lima orang. Artinya setiap keputusan harus diambil bersama. Namun apabila pimpinan tersisa dua orang, maka mereka tidak bisa lagi mengambil keputusan. Sebab, bila terjadi perbedaan pendapat maka, keputusan mereka tak bisa final. Hal tersebut juga pernah dipersoalkan saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPK, pascapenahanan Antasari. Di mana pimpinan tinggal empat orang. Kalangan DPR mempersoalkan sifat kolektif kolegial itu. Mereka mendesak KPK tak mengambil keputusan strategis.
Rapat internal KPK, kata Jasin, juga telah memutuskan bahwa dua pimpinan yang berstatus tersangka tidak dibolehkan mengambil keputusan. “Berdasarkan rapat internal bersama biro hukum mereka tidak mengambil keputusan dulu,” ucapnya. Pemberhentian itu akan ditegaskan Presiden dengan mengeluarkan keputusan penonaktifan. Sama halnya, saat Antasari Azhar menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan Nasruddin.
Jasin menambahkan bahwa sifat kolektif kolegial itu digunakan saat mengambil keputusan penindakan dan pencegahan. “Jadi kalau dalam penindakan itu, kami merapatkan dari proses penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan,” ungkapnya. Sedangkan untuk hal-hal yang lebih teknis, seperti pengeluaran surat cekal dan pencabutan cekal cukup dilakukan seorang pimpinan.
Sementara dua pimpinan yang tersisa, Jasin mengatakan akan mengadakan rapat untuk pembagian tugas. Siapa yang bertugas melakukan penindakan dan siapa pula yang membidangi pencegahan. “Dulu pembagian tugas saat pimpinan masih lengkap bisa diatur dengan surat keputusan,” jelasnya.
Ketua Dewan Penasihat Transparency International Indonesia (TII) Todung Mulya Lubis mengungkapkan bahwa dua orang pimpinan KPK masih bisa mengambil keputusan. “Undang-undang tidak mengatur berapa pimpinan bisa mengambil keputusan,” jelasnya.
Meskipun dua pimpinan yang tersisa tidak memiliki latar belakang hukum, untuk mengambil keputusan bidang penindakan mereka bisa meminta bantuan dari biro hukum. “Untuk bahan pertimbangan mereka bisa minta bantuan biro hukum,” terangnya.
Sementara itu sejumlah tokoh nasional kemarin juga menyelenggarakan pertemuan di Gedung KPK. Mereka berupaya mencermati pelemahan yang terjadi di lembaga antikorupsi akhir-akhir ini.
Sejumlah tokoh hadir dalam pertemuan itu. Di antaranya Sosiolog UI Imam B Prasodjo, Todung Mulya Lubis, Ketua MUI Amidhan, Ekonom Faisal Basri, Praktisi Manajemen Rhenald Kasali, Ketua PB NU Masdar F Mas’udi, sejumlah mantan pimpinan KPK Taufiqurrahman Ruki dan Tumpak Hatorangan Panggabean.
Kehadiran mereka merumuskan petisi untuk menyelamatkan KPK dari ambang kehancuran. Mereka juga menolak apabila M Jasin dan Haryono Umar akhirnya memilih mengundurkan diri dari KPK. “Anda tidak bisa memilih mengundurkan diri. KPK masih perlu orang seperti Anda,” ucap seorang peserta yang hadir dalam pembahasan petisi itu.
Dalam pembahasan itu muncul desakan agar KPK segera memanggil pejabat Polri yang berinisial SD. Dia diduga memiliki konflik kepentingan dalam penanganan penyalahgunaan wewenang yang menyeret Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah. “Saya ingin melihat dua pimpinan KPK yang tersisa segera memanggil pejabat kepolisian berinisial SD,” jelasnya.
KPK juga didesak tidak meminta belas kasihan Presiden terkait konflik dengan polisi. “KPK memiliki senjata untuk memeriksa polisi. Saya kira polisi akan sangat ketakutan kalau mereka diperiksa kekayaannya,” ucap Sekjen TII Teten Masduki. Ibaratnya, dalam konflik itu KPK terlalu banyak berpikir sehingga kalah cepat dalam mencabut pistol. “Akibatnya mati duluan,” ucapnya.
Mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki mengungkapkan bahwa dalam menghadapi konflik, KPK harus lebih jeli. “Kalau konflik dengan kepolisian itu merupakan konflik hukum maka harus dihadapi dengan hukum, kalau politik hadapilah dengan cara politik,” ucapnya. Untuk itu, KPK harus membentuk komite etik yang menilai apakah yang dilakukan Bibit dan Chandra termasuk penyalahgunaan wewenang.
Akhirnya sejumlah tokoh itu menelurkan sembilan petisi. Di antaranya, menolak upaya pengerdilan KPK yang dilakukan dengan berbagai cara antara lain melalui pembahasan rancangan UU Pengadilan Tipikor karena telah menyimpang dari amanat reformasi. Menolak RUU Pengadilan Tipikor yang melemahkan upaya pemberantasan korupsi, petisi itu juga memuat desakan pembersihan institusi kepolisian dari kepentingan para koruptor, mendorong perlunya pembentukan Komite Etik KPK. Kelompok tersebut juga mendesak pengkajian ulang atas tuduhan dan penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka oleh Tim Independen untuk membuktikan ada atau tidaknya dugaan konflik kepentingan oleh oknum petinggi Polri yang menangani kasus tersebut. Kelompok juga menunda pemberhentian sementara dua pimpinan KPM oleh Prseiden sampai hasil tim komite etik rampung.
Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengatakan tugas KPK akan terganggu jika hanya dikendalikan oleh dua orang pimpinan, Untuk itu, ia tengah mencari konstruksi hukum dan administrasi yang tepat agar tidak terjadi kekosongan kepemimpinan KPK.
“Saya sedang mencari konstruksi hukum dan administrasi yang paling tepat, bagaimana agar tidak terjadi kevakuman dalam kepemimpinan KPK, sehingga bisa tetap menjalankan tugasnya,” kata SBY di Kantor Presiden, Rabu (17/9). Kapolri Bambang Hendarso Danuri turut mengikuti rapat terbatas Bidang Polkam di Kantor Presiden. Namun saat SBY memberikan keterangan pers, BHD tidak ikut serta. SBY didampingi Menkopolhukam Widodo AS, Menkum HAM Andi Matalatta, Mensesneg Hatta Rajasa dan Menseskab Sudi Silalahi.
SBY berniat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk mengatasi kekosongan kepemimpinan di KPK. Sebelum mengambil langkah itu, SBY akan berkonsultasi dengan DPR, MK, dan MA. “Perppu itu kandungannya supaya KPK tetap berjalan dan tidak ada kekosongan hukum,” kata SBY.
Presiden mengatakan, jika undang-undang tidak memungkinkan hanya ada dua pimpinan KPK, harus ada pemilihan kembali. Namun, pemilihan kembali baru bisa dilakukan jika pimpinan KPK diberhentikan tetap, ketika sudah menjadi terdakwa. Proses penggantian pun juga akan memakan waktu lama. “Oleh karena itu, saya berpikir kemungkinan untuk mengisi kekosongan ini dengan konstruksi hukum yang paling tepat,” kata SBY.
SBY juga meminta semua pihak untuk menyerahkan semuanya kepada proses hukum. “Bagi saya sangat gamblang, keadilan adalah kalau salah ya dihukum. Kalau tidak salah ya dibebaskan dari tuntutan hukum. Harapan saya semua proses itu seperti itu, jangan belum-belum pasti salah dan pasti dihukum, keadilan menjadi retak,” kata presiden.
Presiden berharap kepada dua pimpinan KPK yang masih aktif beserta jajarannya, untuk tetap menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. “Bisa saja di antara anggota KPK, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, siapapun, bisa ada masalah. Tetapi, lembaganya tidak bermasalah, dan harus menjalankan tugas itu dengan sebaik-baiknya,” kata SBY.
Dugaan Uang Suap
Di bagian lain, polisi yakin kedua tersangka memaksa seseorang menyerahkan sesuatu yang melanggar Pasal 12 huruf e UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sesuatu itu diduga berupa surat cekal untuk Anggoro Widjojo dan pencabutan cekal untuk Djoko Tjandra.
Namun, pihak Imigrasi menyatakan penerbitan cekal yang diminta Komisi Pemberantasan Korupsi sudah prosedural. Direktur Penyidikan Imigrasi Muchdor mengatakan selama ini, hubungan KPK dan Imigrasi dalam penerbitan cekal tidak ada yang keliru. “KPK tak pernah memaksa kami dalam mengeluarkan cekal,” ujar Muchdor saat dihubungi JPNN, Rabu (16/09).
Menurut Muchdor, Depkumham merasa proses cekal adalah hal yang wajar. “Semuanya berlangsung biasa. Tanpa ada paksaan. Pengiriman dan permintaan cekal itu lewat persuratan normal. Permintaan cekal juga kami layani sama dengan kejaksaan dan kepolisian,” tegasnya.
Malam tadi, Bibit dan Chandra selesai menjalani pemeriksaan sekitar pukul 19.10 WIB. Mereka diperiksa sejak pukul 11.00 WIB. Mereka tidak ditahan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi. Kedua orang tersebut hanya dikenakan wajib lapor pada 28 September nanti.
Pertanyaan yang diajukan oleh keduanya masih seputar masalah mengenai pencekalan, penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. Pengacara Bibit, Luhut MP Pangaribuan menilai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penyidik tidak relevan. Bahkan tidak ada pertanyaan yang mengarah ke pelanggaran Pasal 12 Huruf e UU No 31/1999. Bibit ditanya 59 butir pertanyaan, sedangkan Chandra 50 pertanyaan.
Luhut menilai prosedur pencekalan hingga penyidikan di KPK sudah ada SOP. Wewenang yang dilakukan oleh mereka juga sudah diatur oleh UU. Keluar dari Bareskrim, Chandra Hamzah tampak lelah. Dia enggan menjawab mengenai kontroversial peningkatan status dirinya. Ia menyerahkan persoalan itu kepada pengamat hukum. “Tanya ahli hukum saya tidak bisa memberikan pendapat,” katanya.
Sedangkan Bibit Samad Riyanto menilai semua yang mereka lakukan tak ada yang menyalahi undang-undang. Bibit menjelaskan, pencekalan oleh KPK terhadap Djoko Soegiarto Tjandra dilakukan karena Direktur Utama PT Era Giat Prima itu diduga terlibat kasus Jaksa Tri Urip Gunawan. “Namun, setelah diteliti (dia) tidak terlibat, maka cekal dicabut,” kata Bibit usai diperiksa.
Namun pembelaan pengacara dan para tersangka dipatahkan oleh polisi. Bareskrim Polri menegaskan Chandra M Hamzah dan Bibid Samat Riyanto sebagai tersangka karena ada dugaan suap. “Kenapa (surat) cegah cekal itu ada karena aliran uang ini ada,” ujar Direktur III Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri Kombes Pol Yovianus Mahar di Mabes Polri.
Yovianus membeberkan adanya aliran uang Rp5,1 miliar dari Anggoro Widjojo. Kemudian setelah surat pencekalan dari KPK muncul, ada permintaan Rp1 miliar dan semuanya sudah dialirkan. “Saya jelaskan bahwa aliran uang itu ada, bukti saksi, dan petunjuk aliran uang itu ada. Sampai tidaknya (aliran dana) ini yang sedang kita lakukan penyelidikan,” katanya.
Yovianus menerangkan, dalam suatu kasus suap jika tidak tertangkap tangan pembuktiannya perlu suatu teknik-teknik dalam pembuktian. “Oleh karena itu masalah dia dapat atau tidak, aliran itu ada, permintaan itu ada,” katanya.
Aliran dana itu bermula dari testimoni Antasari Azhar empat halaman bertanggal 16 Mei 2009. Selain itu, penyidik juga mengantongi laporan pengacara Anggoro, Bonaran Situmeang, yang menyatakan bahwa kliennya di Singapura menyerahkan Rp6,1 miliar pada Ari Muladi dan Eddy Sumarsono yang mengaku sebagai suruhan KPK. Polisi kini telah menahan Ari sebagai tersangka penipuan dan penggelapan.
Menurut Yovianus, ada 3 alat bukti yang digunakan Polri. Penetapan dua pimpinan KPK menjadi tersangka itu telah sesuai pasal 184 KUHAP. Pasal itu menyebutkan 5 alat bukti terdiri dari keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan tersangka. “Dari lima, sudah kita dapatkan 3. Dua dari tiga alat bukti itu bisa kita nyatakan perbuatan itu ada,” katanya. Tiga alat bukti yang sudah dimiliki polisi yaitu hasil pemeriksaan saksi, surat-surat dan keterangan saksi ahli.
Yovianus menjelaskan, 16 saksi telah diperiksa. Selain itu surat yang berkaitan dengan sangkaan penyalahgunaan wewenang pimpinan KPK juga ditemukan. “Pencegahan dan penerimaan serta dan sebagainya, itu sebagai alat bukti untuk surat. Kemudian, untuk petunjuk rangkaian dari suatu cerita menjadi petunjuk,” katanya.
Bukti lainnya, kata Yovianus, adalah keterangan dari saksi ahli. “Ahli sudah kita periksa dan menyatakan itu merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh oknum ini sesuai dengan pasal yang dijelaskan,” tambahnya.
Polisi juga akan mengembangkan penyidikan ke arah mantan Ketua KPK Antasari Azhar. “Terkait sejauh mana pertanggungjawaban hukumannya. Ini perlu didalami lebih lanjut. Nanti kita lihat,” kata Wakabareskrim Mabes Polri Irjen Pol Dikdik Mulyana Arif Mansyur yang juga hadir dalam jumpa pers.
Menurut mantan Kapolda Kepri itu, hasil pemeriksaan sementara kepada dua tersangka ini, mereka merasa berhak untuk melakukan pencekalan karena sesuai kewenangan yang dimiliki. “Tapi, kalau melakukan hak itu, status orang harus jelas berfungsi sebagai terlidik atau tersidik. Dan kalau penetapan status itu pun harus kolektif dengan yang lain,” kata Dikdik. Polisi menyerahkan pembuktiannya itu pada proses persidangan. “Yang menentukan hakim, kita tidak menghakimi,” katanya.
Seperti diberitakan, Bibit dan Chandra ditetapkan sebagai tersangka karena mencekal bos PT Masaro Radiokom Anggoro Widjojo dan mencabut cekal mantan bos T Era Giat Prima Djoko Soegiarto Tjandra. Polisi menilai tindakan dua pimpinan KPK itu melanggar ketentuan dalam Pasal 23 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan atau Pasal 12 huruf E UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Anggoro Widjojo dicekal karena diduga terlibat kasus suap Tanjung Api-Api. Namun dalam pengembangan kasus, Anggoro kini berstatus tersangka dalam kasus korupsi Sistem Komunikasi Radio Terpadu di Departemen Kehutanan. Anggoro juga kini berstatus sebagai buronan.
Selain itu, polisi juga mempermasalahkan pencabutan cekal terhadap mantan bos PT Era Giat Prima, Djoko Soegiarto Tjandra. Djoko Tjandra dicekal lantaran di terlibat dalam kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani.
Pengumuman status tersebut diungkapkan Direktur III Mabes Polri Kombes Pol Yovianus Mahar dalam konferensi pers singkat di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (15/9) pukul 23.50 WIB. Sebelumnya Chandra dan Bibit diperiksa lebih kurang 14 jam di Bareskrim.
Usai pengumuman, di media elektronik sempat muncul perubahan status keduanya dari saksi menjadi tersangka selain masalah penyalahgunaan wewenang juga mengangkut dugaan suap. Namun itu dibantah salah seorang pengacara keduanya Alexander Lay, saat konferensi pers di Gedung KPK, Rabu (16/9) sekitar pukul 02.00 WIB dini hari.
Dalam kesempatan tersebut Alexander Lay mengatakan kliennya ditetapkan sebagai tersangka karena diduga penyalahgunaan kewenangan, dalam hal ini, seorang pegawai negeri sipil memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu. Tim kuasa hukum melihat ada kejanggalan atas penetapan tersangka dua pimpinan KPK ini. “Jadi sebenarnya yang ingin saya sampaikan adalah proses kriminalisasi terhadap pimpinan KPK ketika menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Alexander Lay.
Alex menyatakan keberatan atas ditetapkannya tersangka karena belum mendapatkan kejelasan mengenai penetapan ini. “Kami belum jelas karena tadi kami tidak mendampingi saat pemeriksaan,” kata Alex. Dalam penetapan ini Alex melihat sebuah kejanggalan. Salah satunya mengenai pertanyaan penyidik tentang administrasi kapan pimpinan menentukan keputusan. “Yang dinilai polisi tidak benar, tim hukum akan mempelajari soal kejanggalan ini,” ujarnya.
Di bagian lain kemarin, Kejaksaan Agung menyatakan telah menunjuk tiga orang jaksa untuk mengikuti proses penyidikan Chandra M Hamzah dan Bibit S Riyanto. Mereka yang ditunjuk sebagai jaksa peneliti (P-16) itu disebut sebagai jaksa terbaik yang ada di jajaran pidana khusus Kejaksaan Agung.
“Sudah ditunjuk tiga jaksa terbaik untuk kasus ini. Mereka yang terbaik,” kata Jaksa Agung Hendarman Supandji ditemui saat rapat kerja dengan Komisi III DPR di kompleks parlemen, Rabu (16/9).
Tiga jaksa itu adalah Ali Mukartono, Fadil, dan Syahnan Tanjung. Mereka ditunjuk setelah Kejaksaan menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari polisi. “Mereka yang mengikuti SPDP itu, melakukan supervisi,” terang Hendarman.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy mengatakan, SPDP dari Polri terkait kasus di KPK tersebut diterima Kejaksaan 3 September lalu. Di dalamnya sudah menyebutkan nama tersangka yang merupakan oknum KPK. “Saya menyebut oknum, tidak menyebut nama,” kata dia. Sebelumnya, munculnya nama Chandra Hamzah sebagai tesangka justru diketahui dari pernyataan Marwan yang menyebut inisial C.
Menurut dia, SPDP tersebut merupakan yang kedua setelah sebelumnya diterima SPDP kasus pemalsuan dan penggelapan dengan tersangka Ary Muladi. “SPDP kasus itu (penggelapan, red) saya teruskan ke pidum (pidana umum),” kata Marwan.
Pukat Minta SBY Dukung KPK
Desakan bagi Presiden Susilo Bambang Yuduyono untuk turun tangan membantu permasalahan yang dihadapi terus disampaikan. Kali ini disampaikan Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gajah Mada Yogyakarta Dr Zainal Arifin Mochtar.
Menurutnya, seharusnya ada dukungan dari presiden untuk masalah yang dihadapi KPK. Selama ini SBY tidak pernah memberikan dukungannya. “Ya minimal dukungan stetement dari SBY,” ungkapnya. Zainal mengatakan, yang diminta bukan dalam ranah hukum. “SBY tidak mungkin meminta kasus itu dihentikan, tapi harus ada langkah yang lain,” terangnya.
Menurutnya, masalah tersebut tidak hanya pada ranah hukum saja, tapi sudah dibawa ke ranah politik. “Nuansa politiknya sangta kental, ini yang harus dilakukan SBY,” jelasnya. “Presiden juga harus melakukan purifikasi politisasi yang berkembang sekarang,” ungkapnya.
Dosen Fakultas Hukum UGM itu mengungkapkan, tuduhan kepada para ketua KPK itu tidak berdasar. Bukti yang digunakan juga sangat lemah, seperti surat pencekalan yang sudah terbukti palsu, dan testemoni dari Antasari. “Itu kan lemah semua, tidak bisa dijadikan bukti,” ungkap pria berkacamata itu saat mengisi seminar nasioanl anti koruspi di Hotel Vini Vidi Vici (V3) Surabaya.
Zainal mengatakan, KPK dituduh melakukan penyalahgunaan kewenangan dalam pemeriksaan Bos PT Masaro. Padahal tidak penyalahgunaan di situ, secara hukum yang dilakukan KPK itu sudah benar. Kewenangan yang dilakukan KPK itu sama dengan yang dilakukan Presiden ketika menaikan harga BBM. “Kenapa Presiden tidak diperiksa ketika menaikan harga BBM, itu kan juga melakukan kewenangan. Logikanya sama,” jelasnya.
Penyalahgunaan yang diungkapkan kepolisian itu tidak jelas. “Penyalahgunaan yang bagaimana, itu yang tidak jelas. Itu juga yang tidak bisa dibuktikan polisi,” jelasnya. Jika kepolisian bisa membuktikan kesalahan tersebut, maka tidak ada masalah jika polisi menjadikan pimpinan KPK sebagai tersangka.
Menurutnya, tugas persiden sekarang adalah meminta kepada kejaksanan dan kepolisian untuk membuktikannya. Jika tidak bisa maka Presiden harus meminta agar kasus itu dihentikan. “Jika dihentikan, maka pimpinan KPK harus diaktifkan kembali,” terang Zainal saat ditemui JPNN setelah acara tersebut.(lum/git/rdl/sof/fal/iro/jpnn/yud/fia)